BUKTI

Share:
“Lo ingat gak anak perempuan yang tinggal di samping rumah lo 10 tahun lalu?” Kini ia bertanya kepada laki-laki disebrangnya, tampak tak peduli ia terus menyeruput es teh yang baru saja ia beli dari kantin Mbok Iwa.

“10 tahun lalu? Gila lo ya, anak umur 7 tahun mana bisa ingat semuanya. Jangankan anak perempuan yang lo ceritain, kawan sebangku SD gua aja lupa. Aneh-aneh deh lo mah” Laki-laki itu menatap heran teman disebrangnya. “Eh tapi tunggu, kenapa tiba-tiba nanyain begituan?” sempat acuh, kini laki-laki itu mencoba penasaran.

“Gapapa si tanya aja, kok akhir-akhir ini kepikiran” Ia menjawab santai pertanyaan temannya itu.

“Yeee kutil kuda, kirain apaan. Muka lo udah serius gitu kirain kenapa, nanti coba gua inget deh”

“Mbok, nasi goreng dua dong laper nih.” Lanjutnya

“Siap bro tunggu sebentar ya” Perempuan yang biasa dipanggil Mbok Iwa inipun mengiyakan pesanan dari kedua laki-laki tersebut. Jika kalian penasaran Mbok Iwa adalah salah satu pedagang di kantin tempat kedua laki-laki tersebut bersekolah. Meskipun terlihat kuno, namun Mbok Iwa cukup gaul dikalangan anak SMA tempatnya berdagang. Contohnya saja ia memanggil anak-anak dengan sebutan bro, sist, bahkan terkadang cui. Unik, bukan?

Rananda Ilham Rusmana, atau biasa dipanggil Ilham ini adalah siswa kelas 12 di salah satu SMA di sebuah daerah, entah siapa anak perempuan 10 tahun lalu yang ia bahas bersama temannya di kantin kala itu. Ilham anak yang bisa kubilang ia pendiam, atau bisa kalian sebut introvert bahasa kerennya. Bukannya tak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, apalagi untuk pilih pilih teman bukan seperti itu alasannya. Mungkin itu memang sudah wataknya. Tak heran ia hanya akrab dengan Joceva Alintar. Kalau kalian susah menyebutnya, panggil saja Lintar, bahkan teman-temannya lebih sering menyebutnya Burjo, konon katanya Burjo adalah nama ayah Lintar. Tapi menurut Ilham, nama ayahnya Burhan, entahlah mana yang benar. Ia lah yang ditanyai Ilham tentang ingatan perempuan 10 tahun lalu. Memang, mereka sudah berteman sejak kecil, bisa dibilang mereka tumbuh bersama. Tinggal di lingkungan yang sama bahkan bersekolahpun di sekolah yang sama, meski tak satu kelas.

“Oh sekarang gua inget!” tiba-tiba Lintar menghentikan langkahnya, sontak Ilham pun mengikuti

“Inget apaan?” tak mengerti maksud perkataan Lintar, ia menghadapkan tubuhnya ke arah laki-laki tinggi disebelahnya

“Anak perempuan 10 tahun lalu, dia tetangga di samping rumah gua kan? Terus entah kenapa keluarganya pindah tanpa ada pemberitahuan ke warga kampung. Katanya si rumahnya disita bank karena terlilit hutang, bener kan?” sambil mengingat-ingat Lintar terus saja berbicara memastikan setiap ingatan yang ia temukan dipikirannya.

“Ho’oh”

“Kok cuma ho’oh, emang ada apa? Kok random banget bisa inget dia, siapa si namanya kok lupa” teman disampingnya, perlahan berjalan meninggalkan Lintar “woi tunggu kenapa” lanjutnya.

-----OoO-----

Hari itu hari Minggu, Ilham tak sengaja melihat perempuan menuju rumah yang diceritakan Lintar, rumah perempuan yang ditinggalkan tanpa sebab tersebut. Awalnya ia tak penasaran, namun melihat gerak-geriknya yang mengendap-endap, Ilham pun berhenti memerhatikannya. Terlihat ia keluar masuk ruangan di setiap rumah karena tak ada lagi gorden yang menutupi setiap jendela di rumah itu, dan juga tak ada cahaya. Ia hanya masuk bermodalkan senter yang dibawanya. Semenjak kepergiannya, tak ada lagi yang menempati rumah itu. Dan aku makin yakin kalau sebenarnya rumah itu tidak disita bank menurut rumor yang beredar. Melainkan, ada cerita lain.

Tanpa sepengetahuan Ilham perempuan itu keluar dari gerbang rumah dengan terburu-buru, hingga ia menjatuhkan bungkusan kertas yang digenggamnya. Ilham mengambilnya dan mengejar perempuan itu seraya memanggilnya

“Hey… hey” bukan hey tayo ya pembaca.

“Hey tunggu” anehnya semakin dikejar, perempuan itu semakin terburu-buru

“Hey, kamu menjatuhkan ini” Ilham menggait tangannya, ia pun berhenti.

“Terima kasih” tak menengok Ilham sekalipun, perempuan itu pergi dengan langkah
menderu.

“Aneh deh, kayak habis maling aja, apa dia pemilik rumah yang lama ya? Oh iya, lupa harusnya mau kasih barang yang ia tinggalin waktu itu. Ah tapi sudah jauh kalau mau dipanggil. Mungkin besok dia balik lagi” sembari mengernyitkan dahinya, Ilham benar-benar kebingungan dengan situasi malam itu, namun ia teringat akan suatu barang. Barang? Barang apa? Sebenarnya ia keluar untuk membeli karton untuk mengerjakan tugas Matematika pemberian Bu Lidya, wali kelasnya. Setelah membeli apa yang ia perlukan, ia kembali ke rumahnya melewati jalan tadi.

“Darimana malam-malam?” entah dari mana datangnya suara itu

“Gila bikin kaget aja, lo sendiri ngapain malam-malam gini?” rupanya itu suara Burjo, alias Lintar

“Nih gua juga sama nyari karton”

“Emang rumah di samping rumah lo sudah ada pemilik barunya ya?” Ilham bertanya

“Kurang tahu deh,kayaknya belum orang rumahnya juga masih kosong gitu ga ada perabotan” Lintar menjawab yakin pertanyaan Ilham “Kenapa si?” lanjutnya

“Anak perempuan yang tinggal di rumah itu, masih inget ga gimana wajahnya?” Ilham meng-stop langkah Lintar. Namun, ia hanya mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu.

“Namanya ge lupa” lanjutnya

“Dia pernah main bareng kita kan ya? bareng anak kampung lain juga?” Ilham mencoba mengingat pemilik rumah itu yang ia kenal.

“Ia sepertinya sebaya dengan kita, walau badan dia dulu lebih kecil si. Siapa si ya namanya? ada S S nya gitu sepertinya” dengan tatapan seperti akan menebak, Lintar memikirkan nama anak perempuan yang hilang dari ingatannya tersebut.

“Yaudah deh gua duluan ya, lu juga udah sampe dirumah” Ilham menyudahi obrolan mereka malam itu.

“Woi, besok nebeng yaaaaa!” si Burjo berteriak. Ilham hanya mengangguk.

-----OoO-----

“Tadi dapat nilai apa presentasinya?” Ilham memecah keheningan di antara keduanya.

“Ah bodo amat, gua disuruh ulang sama bu Lidya” jawab Lintar santai, emang dia
sungguh tak peduli dengan tugas sekolahnya. Tak heran jika Ilham sering membantu temannya itu.

“Suruh Ibu mampir dulu ke rumah, katanya mau buat bakso” Lintar teringat pesan ibunya
tadi pagi untuk membawa Ilham makan bakso di rumahnya.

“Oke deeh, salin baju dulu tapi takut Nyonya besar nyariin”

“Udah, langsung aja lagian nanti Ibu pasti SMS Mama lo, gua abis beli PS kemaren ayo
main. Bosen rental mulu di Bang Acit” ajak Lintar

Mereka tiba di rumah Lintar, namun betapa terkejutnya mereka melihat banyak mobil polisi terparkir di rumahnya. Tidak, tidak lebih tepatnya rumah yang sudah lama tak ditempati itu. Deru sepatu mereka kini terdengar lantang, penasaran apa yang terjadi di rumah itu mereka pun berlari

“Jangan mendekat, ini kasus pembunuhan” ucap polisi sambil menghalangi jalan Lintar dan Ilham yang berusaha mendekat ke rumah itu, mereka ingin memahami situasinya,

“Ha?! Pembunuhan?” keduanya tersontak, Lintar menganga tidak percaya, namun berbeda dengan Ilham. Ia berlari menuju arah rumahnya.

“Ilham jangan lari woi, kenapa? Ilham! Ilham!” Jeritan Lintar ia abaikan, langkahnya kini semakin cepat, hingga membawa debu akibat hentakan kakinya. Ia pulang ke rumah, sepertinya
hendak mencari sesuatu, mungkinkah ‘barang’ itu?

Dengan nafas yang terengah dengan kotak kayu dan boneka panda di tangannya. Ia berusaha mencari seseorang. Ya! anak perempuan itu! Matanya tertuju pada seorang perempuan, tatapannya sendu sepertinya ia banyak menangis akhir-akhir ini. Ia menarik perempuan itu dari keramaian polisi. Tentu saja perempuan itu melawan, namun akhirnya ia mengikuti Ilham.

“Pasti ini yang kamu cari” membawanya ke tempat yang lebih aman, Ilham pun memberikan barang yang ia bawa tadi. Perempuan itu terduduk, seketika tangisnya pecah. Ilham kebingungan.

“Loh?! loh? jangan nangis nanti dikira saya ngapa-ngapain lagi. Jangan nangis, ini saya gatau barangnya apa tapi waktu 10 tahun lalu pas hari dimana rumah kamu kosong, saya iseng masuk ke halaman karena mau ajak kamu main. Kamu belum punya teman waktu itu, saya melihat kamu duduk sendiri di depan halaman dengan boneka itu. Tapi ternyata di hari itu, rumah kamu kosong, saya menemukan boneka itu dan kotak kayu di belakang rumah. Maaf kalau saya lancang.” Ilham menjelaskan semuanya, ia khawatir orang-orang mengira ada hal aneh jika mendengar suara perempuan menangis.

“Terima kasih! Terima kasih, kamu menyelamatkan ibu saya. Sebenarnya 10 tahun lalu ayah saya mencoba menutupi kematian kakak saya dengan membuat ibu saya dipenjara karena difitnah. Ia memalsukan bukti dan menyembunyikan bukti aslinya di kotak ini. Hingga saya harus tinggal bersama pembunuh itu, ia juga mencoba membunuh saya. Tapi saya berhasil melaporkan ini ke polisi, saya curiga bahwa sebenarnya mungkin kakak saya pun tidak dibunuh ibu saya, tetapi dia. Semenjak saat itu, ia sering kembali ke rumah ini. Mungkin untuk mencari kotak ini. Tapi kamu menyimpannya, saya sangat berterima kasih. Kini saya bisa membebaskan ibu saya” tangisnya semakin terisak, Ilham berdiri kaku dihadapan perempuan itu. Ia tak menyangka akan setragis ini. Kotak yang ia temukan di halaman belakang rumah perempuan itu ternyata barang bukti pembunuhan.

“Saya harus memberikan ini kepada polisi” perempuan itu bangkit dan menghapus air matanya.

“Tunggu, saya belum tahu namamu” Ilham terbebas dari lamunannya

“Shakila, nama saya Shakila. Sepertinya kita sebaya, terima kasih sudah mengajakku bermain hari itu, bahkan aku tidak pamit dengan cara yang benar. Tapi kamu menyelamatkan saya dan juga ibu.” ternyata ia Shakila, teman kecil Ilham dan juga Lintar. Meski tak lama, mereka pernah berteman. “Maaf saya harus buru-buru menyampaikan ini.” ia berlari menuju rumah lamanya dulu.

“Semoga semua urusanmu lancar” Ilham berkata dalam hati

-----OoO------

Pagi ini hari Rabu, tetapi Ilham tak berangkat sekolah karena libur nasional. Tak biasanya ia membaca Koran yang tergeletak di halaman depan rumahnya. Pasti loper Koran baru mengantarnya pagi ini. Ia pun melihat headline berita dikoran itu.

“Polisi berhasil mengungkap kasus pembunuhan yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya 10 tahun lalu. Meski hal ini baru terungkap sekarang, namun hal itu menjadi angin segar bagi tersangka TA, yang sempat ditahan karena pemalsuan bukti”

”Syukurlah, urusanmu berjalan lancar Shakila” ia berkata lega

“Siapa Shakila?” tanya Rena, adik Ilham

“Ih bikin kaget aja heran!”

“Ye sewot amat, itu ditungguin kak Lintar, diajakin main sepeda tuh.”

“Ayo cepetan main, Roni ngajak balapan di lapangan.” Seorang laki-laki dengan sepedanya menunggu Ilham di depan gerbang, siapa lagi kalau bukan Burjo.

“Ayo cepetan” Ilham mengeluarkan sepedanya dari gerbang rumah. Mereka pun mengayuh sepeda dengan mantab ke lapangan pagi itu.

“Namanya Shakila.” tiba-tiba Ilham menghentikan sepedanya.

“Hah? Siapa?” Lintar tak paham perkataannya

“Yang nanyaaa HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA” Ilham segera mengayuh kencang sepedanya setelah menjahili Lintar.

“Wah kena tipu gue, woi jangan kabur lo!” Selesai sudah rasa penasaran Ilham tentang siapa perempuan itu, kini ia tak harus lagi menyimpan kotak yang sempat akan dibuang Mamanya karena membuat sempit lemari di ruang tamu. Semoga kita bisa berteman lagi, Shakila.
bukti

Karya : Rahma Gusti Amelia S
Email : rahmagustiamelia7@gmail.com
Instagram : @rahmaaism
Twitter : @itsrahmaaaaa

Jika kalian menyukai cerpen ini, silakan share cerpen ini keteman-teman kalian.

Punya cerpen? Ingin di publish di gangkutu? Silakan kirimkan ke email berikut: tegarprawijaya@gmail.com

2 comments: